Infanteri, kavaleri, dan pemanah. Trinitas militer yang umum ditemui pada zaman pra-bubuk mesiu tersebut seringkali digambarkan dalam analogi permainan batu, gunting, kertas. Latar belakang pemikiran di baliknya cukup sederhana. Pasukan infanteri bertombak dapat mengalahkan penunggang kuda dengan mudah, pasukan penunggang dapat menggilas pasukan pemanah dengan cepat, dan pasukan pemanah dapat menghabisi infanteri dari kejauhan.
Apakah analogi itu benar dan sesuai? Beberapa pengajar di bidang sejarah menggunakan analogi tersebut. Sejumlah blogger dan penulis juga menyatakan hal demikian. Bahkan Anda dapat dengan mudah menemukan sentimen tersebut dalam forum-forum online yang membahas soal militer klasik.
Melihat popularitasnya, tentu ada kebenaran di dalam logika sederhana itu. Namun, bila Anda membandingkan analogi tersebut dengan berbagai kasus nyata di medan pertarungan, Anda akan menemukan sejumlah fakta berlawanan. Bagaimana kita menjelaskan kekalahan formasi infanteri Paus Leo IX oleh serangan kavaleri Norman pada 1053; Ataupun, pertarungan Poitiers pada 1356 ketika pemanah Inggris berhasil menumpulkan serangan kesatria berkuda Perancis dan bahkan menghancurkannya?
Analogi permainan batu, gunting, kertas terlalu umum dan sederhana untuk menjelaskan realita perang. Untuk mengetahui dinamika trinitas militer ‒ infanteri, kavaleri, dan pemanah ‒ secara lebih mendalam, kita perlu membedah setiap kategori terlebih dahulu. Dan, dalam kesempatan ini, kita akan melihat kekuatan, kelemahan, dan terutama peran kavaleri dalam militer di era klasik.
Catatan: dalam pembahasan ini saya akan menggunakan kata ‘kavaleri’ secara luas dan merujuk pada pasukan dalam bentuk apapun yang dapat bergerak dengan cepat. Entah mereka menunggangi kuda, menaiki kereta kuda (chariot), atau menunggangi binatang lain.
Kunci Doktrin Deep Battle; Menguak Potensi Penuh dan Peran Kavaleri
Dalam sejarah, setiap negeri yang memiliki akses atas sumber daya kuda selalu mengadopsi kavaleri ke dalam satuan militer mereka. Bahkan, ketika suatu negeri tidak memiliki pasukan berkuda untuk menyokong militer mereka, mereka akan mendatangkan sumber daya dari luar untuk memiliki satuan kavaleri.
Kita dapat melihat hal tersebut pada Kekaisaran Cina yang menarik kekuatan kavaleri mereka dari daerah-daerah utara mereka. Selain itu, pasukan Republik Romawi yang sepenuhnya terdiri dari infanteri berat (legiuner) masih didukung oleh auxilary yang terdiri dari kavaleri suku-suku aliansi Roma.
Keuntungan dari pasukan kavaleri amatlah jelas. Dengan menunggangi kuda, para pasukan dapat menempuh jarak yang lebih jauh dengan lebih cepat. Mobilitas kavaleri membuka berbagai kesempatan taktis baru bagi mereka yang mengendalikannya.
Menguak kabut pertarungan
Melancarkan kampanye militer di area tidak bersahabat, atau lebih tepatnya teritorial lawan, merupakan hal yang mengerikan. Tidak hanya jauh dari rumah dan suplai yang dapat disediakan oleh pihak bersahabat, tapi para pasukan dalam kampanye tersebut juga beroperasi di daerah yang tidak dikenal dengan lawan yang pastinya tidak senang atas keberadaan mereka.
Pasukan yang berbaris di luar keamanan dinding dan benteng harus menghadapi ancaman nyata dari serangan mendadak. Dan, tentunya ancaman serius tersebut dapat membawa malapetaka besar. Lihat saja pertarungan Isandlwana pada tahun 1879.
Dalam tragedi tersebut, pasukan profesional Inggris yang jauh lebih superior dalam hal persenjataan ‒ dengan senapan, meriam, dan roket ‒ berhasil dikalahkan secara telak oleh pejuang Zulu yang moyoritasnya hanya bersenjatakan tombak pendek. Dari 1.800 tentara Inggris yang ada, lebih dari 1.300 terbunuh dalam pertarungan tersebut dan sisanya selamat karena mereka tidak berada di kemah ketika pejuang Zulu menyerang.
Bencana tersebut dapat terjadi karena pasukan Inggris gagal mendeteksi 25.000 pejuang Zulu yang bergerak untuk menyergap mereka. Bila pasukan Inggris mengetahui kedatangan pejuang Zulu, mereka dapat mengonsolidasi kekuatan, menyiapkan pertahanan kemah, dan menaruh meriam mereka pada posisi yang strategis. Alih-alih, serangan tersebut mengejutkan para pasukan Inggris yang berada dalam posisi tidak siap ‒ pasukan mereka terpencar, kemah mereka sama sekali tidak dalam keadaan strategis untuk dipertahankan, dan kepanikan menyebar dengan mudah di antara mereka.
Kisah di atas memberikan perspektif akan pentingnya intelijen di medan perang. Pasukan manapun yang menginginkan kesempatan untuk menang perlu mengetahui di mana musuh mereka berada dan ke mana mereka bergerak. Tanpa informasi tersebut, mereka seperti berbaris di dalam kabut, terbuka untuk dieksploitasi dengan berbagai cara.
Pada zaman modern, pesawat pengawas selalu beterbangan, mencatat arah pergerakan setiap pasukan musuh dan melaporkannya dengan segera. Namun, tanpa adanya teknologi seperti itu, para pasukan zaman lampau bergantung pada kecepatan penunggang kuda.
Salah satu contoh peran kavaleri sebagai pengintai dapat terlihat pada pasukan Kekaisaran Mongol. Dalam beberapa kampanye, dilaporkan bahwa kavaleri pengintai Mongol beroperasi 70 mil (112 km) di depan kolom utama pasukan. Dengan jarak operasi pengintai yang begitu jauh, para komandan militer dapat mengetahui keberadaan pasukan musuh dengan segera dan merencanakan tindakan yang paling strategis. Operasional kavaleri sebagai pengintai yang baik memastikan pasukan selalu siap dan dapat bertindak secara tepat. Dan, kemenangan pasukan Mongol secara berturut-turut dalam kampanye mereka di Khwarezmia dan Rusia membuktikan hal tersebut.
Mengejutkan dan memecah lawan
Di benua Eropa, kavaleri mengalami perkembangan yang cukup unik. Pada abad pertengahan, peran kavaleri adalah untuk melancarkan serangan kejut (shock attack). Kavaleri Eropa, yang mayoritas terdiri dari kelas kesatria, mempersenjatai diri mereka dengan tombak kavaleri (lance) dan baju zirah. Dalam pertarungan, mereka akan memacu kuda mereka dan menerjang barisan lawan dengan tombak kavaleri secara serempak.
Dari segi kerusakan fisik yang dapat dihantarkan, serangan kavaleri dan tombak mereka amatlah mematikan. Dengan memusatkan kekuatan kuda di balik ujung tombak yang tajam dan solid, serangan para kesatria Eropa memiliki potensi besar untuk menumbangkan lawan, bahkan mereka yang dilindungi oleh baju pelat baja.
Di luar kerusakan fisik, serangan pasukan kavaleri secara serempak juga memiliki dampak yang besar pada semangat juang lawan mereka. Pasukan yang disiplin dan teratur mungkin dapat bertahan dengan menjaga posisi serta mengacungkan senjata ke arah kavaleri. Namun, ketika menghadapi terjangan kavaleri bertombak, sebagai seorang infanteri, Anda tidak memiliki banyak pilihan. Bila mata tombak tersebut menemukan tubuh Anda, Anda hampir dapat dipastikan tewas. Harapan Anda untuk selamat adalah: melarikan diri atau berharap tombak yang didorong oleh kuda tersebut menemukan orang lain. Bagi pasukan yang masih kurang disiplinnya dan juga sebagian besar orang, melarikan diri adalah pilihan paling masuk akal. Karena itulah, terkadang pemandangan akan serangan pasukan kavaleri sudah cukup untuk menghancurkan semangat bertarung lawan.
Satu catatan lainnya mengenai hal ini adalah umumnya pasukan kavaleri yang menghantam lawan tidak serta merta memaksakan momentum mereka dalam satu serangan. Bila pasukan kavaleri menghantam formasi lawan dan formasi tersebut masih menunjukkan kohesi serta dapat bertahan, mereka akan mundur dan mencoba taktik baru. Atau, mereka akan mundur, melepaskan diri dari formasi lawan, mengambil jarak, dan kembali mencoba menghantam lawan dengan momentum penuh.
Ketika berhadapan dengan serangan pasukan kavaleri secara bertubi-tubi, bahkan pasukan yang terlatih dan sebelumnya mampu bertahan dapat terpecah pada akhirnya. Hal tersebut dapat terlihat pada pertarungan antara pasukan kaum Norman dan Paus di kota Civitate.
Untuk menghukum praktik kejam penguasa Norman terhadap warga di Italia bagian Selatan, Paus Leo IX melancarkan kampanye militer terhadap mereka. Pada Juni tahun 1053, pasukan Paus Leo yang berjumlah sekitar 5.000 orang berhadapan dengan kekuatan Norman yang berjumlah sekitar 3.000 kavaleri berkuda. Pasukan paus membagi formasi mereka dalam dua bagian, sayap kiri dan kanan. Sementara itu, pasukan Norman membagi diri menjadi 3 divisi dengan jumlah yang setara.
Di sayap kiri, hasil pertarungan ditentukan secara pasti. Kegagalan pasukan Paus untuk menciptakan barisan yang kohesif berakhir dengan kemenangan telak untuk pasukan Norman. Satu divisi kavaleri Norman yang dipimpin oleh Richard dari Aversa dengan mudah menembus dan menghancurkan sayap kiri pasukan Paus. Namun, sayap kanan pasukan Paus diperkuat oleh 700 pasukan veteran dari Swabia dan di sana pertarungan berlangsung secara sengit.
“Anda dapat melihat tubuh manusia terbelah dua dan kuda beserta manusia tergeletak mati berdampingan.” (William dari Apulia, penulis sejarah Norman)
Divisi Norman di bawah Humphrey de Hauteville menerjang pasukan Swabia dengan kekuatan penuh. Pada permulaan, kavalerinya menyerang dengan tombak dan lembing. Namun, ketika mereka sudah kehilangan tombak mereka, mereka beralih menggunakan pedang. Setiap kali pasukan Swabia berhasil menangkal mereka, Humphrey membawa pasukannya mundur, kembali mengumpulkan mereka, dan kembali menyerang.
Setelah serangan ketiga atau keempat, divisi Norman di bawah Robert Gusicard datang membantu dan menerjang pasukan Swabia dari samping. Bantuan lainnya datang dari Richard ketika dia sudah berhasil memecah sayap kiri pasukan Paus sepenuhnya. Meskipun mereka profesional dan berada dalam formasi yang solid, pasukan Swabia pada akhirnya hancur di bawah tekanan tiga divisi kavaleri Norman.
Pertarungan di atas membuktikan betapa mudahnya kavaleri menghancurkan infanteri dalam jumlah yang lebih besar ketika mereka tidak terlatih dengan baik. Bahkan, infanteri yang terlatih dan profesional juga dapat dihancurkan ketika bobot angka dan situasinya tepat. Dalam penerapan yang lebih bijak, tidak jarang kasus-kasus dimana serangan kejut dari kavaleri didahului oleh salvo anak panah untuk ‘melunakkan’ target mereka terlebih dahulu.
“Mereka (Hittite) lebih memilih untuk melakukan serangan massal secara terorganisir dengan kereta kuda berat yang diharapkan dapat memecah barisan musuh. Bila semua berjalan sesuai rencana, mereka dapat dengan mudah menggilas lawan dengan menggunakan tombak atau menembakkan anak panah.” (Profesor Gregory Aldrete)
Kasus lain yang mungkin lebih menonjolkan peran kavaleri sebagai pasukan kejut adalah pertarungan Kadesh pada tahun 1274 SM. Dalam pertarungan bersejarah tersebut, 3.000 kereta kuda Kekaisaran Hittite dengan brutal menggebrak divisi Ra dari Pharaoh Ramesses II yang terdiri dari 5.000 infanteri dan 500 kereta kuda. Pada saat itu, divisi Ra sedang berada di tengah pergerakan dan tidak siap untuk menghadapi kekuatan Hittite. Kereta kuda Hittite ‒ lebih berat dari kereta Mesir dan terdiri dari 3 awak yang bersenjatakan perisai, tombak, ataupun busur ‒ dengan mudah mengusir kereta kuda Mesir yang berusaha menghadang dan menghantam langsung infanteri yang tengah berbaris. Serangan kereta kuda Hittite begitu dahsyat hingga pasukan yang tersisa langsung melepaskan diri dari formasi dan berhamburan ke segala arah. Dalam pertarungan Kadesh, kejadian tersebut menandakan hancurnya ¼ pasukan Pharaoh dalam hitungan menit oleh kavaleri yang berperan sebagai pasukan kejut.