Doktrin militer merupakan representasi nyata dari kepercayaan akan bagaimana seharusnya kekuatan militer menyiapkan dan melakukan aktivitas militer. Secara nyata, doktrin militer berperan sebagai dasar untuk membentuk strategi militer, panduan pelatihan personil, panduan untuk melaksanakan aktivitas operasional, dan cara menangani permasalahan di lapangan.
Setiap negeri memiliki doktrin militer tersendiri. Setiap doktrin adalah unik dan berbeda satu sama lainnya. Entah itu kepercayaan di dalam pemerintahan, budaya masyarakat, ataupun teknologi militer, ada berbagai faktor yang dapat mempengaruhi doktrin militer. Karena perbedaan doktrin antara setiap negeri, tentu saja akan ada negeri tertentu yang doktrin militernya bekerja dengan lebih baik bila dibandingkan dengan tetangga-tetangga kontemporernya.
Dalam kesempatan ini, Bearly-Max akan membawakan daftar negeri-negeri dengan doktrin militer terbaik. Daftar negeri ini didasari oleh pengetahuan penulis mengenai performa militer negeri tersebut bila dibandingkan dengan lawan-lawan kontemporernya.
Daftar negeri dengan doktrin militer terbaik versi Bearly-Max
Tentara profesional Roma (abad ke-1 SM hingga abad ke-3)
Sepanjang sejarahnya, tentara Roma terus mengalami perkembangan–adopsinya akan pedang Spanyol, baju pelindung cincin besi dari suku-suku Gaul di Italia Utara, lembing dari orang Samnite. Namun, di antara perubahan yang terus terjadi di dalam tentara Roma, mungkin yang berdampak paling signifikan adalah reformasi Marius pada 107 SM.
“Kemenangan dalam perang tidak sepenuhnya tergantung pada jumlah dan keberanian; hanya keahlian dan disiplin yang dapat mengamankannya.”
(Vegetius, penulis Roma)
Legiun Roma yang dilahirkan dari reformasi Marius terdiri dari warga kalangan bawah. Insentif berupa gaji dan kepemilikan properti di akhir masa tugas mendorong para legiuner untuk terus mengikuti komando dari jenderal mereka. Latihan berat dan disiplin militer pun rela mereka ikuti. Seperti kata Vegetius, keahlian dan disiplin dari legiuner Roma inilah yang menjadi ujung tombak dalam memperbesar kekuasaan Roma.
Bila dibandingkan dengan lawan-lawannya, Roma memiliki organisasi militer yang paling maju dan unggul. Kekuatan utama mereka adalah legiuner yang berperan sebagai infanteri berat. Para legiun, yang kurang-lebih terdiri dari 4.200 legiuner, dapat bermanuver secara independen dan memanfaatkan kesempatan ketika melihatnya. Meskipun keunggulan infanteri mereka, Roma tidak mengabaikan komponen militer lain dan menggunakan pasukan auxilary yang ditarik dari suku-suku aliansi. Auxilary ini dapat mengambil bentuk kavaleri, pemanah, pengumban (slinger), atau bahkan infanteri amfibi.
Dalam kampanye, Roma memiliki sistem logistik yang dapat mendukung pergerakan tentara secara berkepanjangan. Selain itu, mereka juga salah satu dari sedikit tentara yang mendirikan kamp pertahanan setiap malamnya untuk menghindari resiko disergap.
Pendekatan yang amat sistematis dari tentara Roma mengizinkan mereka untuk menguasai kaum Gaul, Jermanik, Anatolia, dan masih banyak negeri lainnya. Meskipun tentara Roma mengalami kesulitan dalam menghadapi Kekaisaran Parthia dan juga Persia, mereka tetap layak dinobatkan sebagai negeri dengan doktrin militer terbaik di masanya.
Pasukan Kekaisaran Mongol (abad ke-13 hingga abad ke-14)
Ketika sebagian besar negeri memikirkan kampanye militer sebagai cara untuk menaklukkan suatu kota dan mendudukinya, doktrin militer Mongol amatlah berbeda. Untuk mengerti doktrin militer Mongol, kita perlu melihat masyarakat yang membentuk kekuatan militer ini.
Mongol hanyalah salah satu dari beragam kelompok nomaden di stepa Asia Tengah. Sebagai masyarakat nomaden yang berpindah-pindah untuk mencari tempat merumput, mereka tidak mengenal konsep kota. Pada satu sisi, ini berarti masyarakat mereka amatlah miskin dan tidak memiliki banyak kekayaan. Di sisi lain, ada banyak hal juga yang menjadi tidak penting bagi mereka, kota-kota dan seluruh populasinya jelas ada dalam daftar tersebut.
Ketika tentara Mongol melakukan kampanye militer, mereka tidak menghabiskan kekuatan mereka untuk mengendalikan kota-kota. Mereka hanya memberikan ultimatum, menyerah atau binasa. Bila kota tersebut menyerah, maka seluruh sumber dayanya akan diserap untuk keperluan militer Mongol. Bila kota itu melawan, maka kota itu akan dijarah dan dihancurkan sepenuhnya.
“Ketika mereka (Mongol) bertarung, jika ada 1 atau 2 atau 3 atau lebih banyak lagi dari kelompok 10 tentara yang melarikan diri, seluruh anggota kelompok akan dieksekusi. Dan, jika seluruh 10 tentara melarikan diri, maka sisa kelompok yang terdiri dari 100 orang akan dieksekusi bila mereka tidak melarikan diri juga.”
(John of Plano Carpini, diplomat Italia)
Kekejaman, atau mungkin dapat juga diartikan sebagai hukuman, mutlak adalah salah satu elemen dari doktrin militer Mongol. Tidak hanya berlaku pada lawan, namun pasukan Mongol yang gagal bertindak sesuai dengan aturan juga mendapat hukuman berat. Tingkat disiplin yang mungkin bahkan lebih berat daripada tentara Roma ini memastikan setiap satuan Mongol bekerja sesuai dengan fungsi dan tugas mereka.
Dalam operasi militer, pasukan Mongol hampir seluruhnya terdiri dari pasukan kavaleri. Seluruh pasukan Mongol memiliki busur sebagai senjata utama, walaupun terdapat sejumlah pasukan yang bersenjatakan tombak kavaleri dan berperan sebagai pasukan kejut (shock). Hal tersebut memungkinkan pasukan Mongol untuk bermanuver lebih cepat daripada pasukan negeri-negeri lawan yang mayoritasnya terdiri dari infanteri.
Seiring dengan waktu, pasukan Mongol akan mengadaptasi elemen-elemen lain dari lawan mereka. Pada masa keemasannya, pasukan Mongol juga mencakup insinyur senjata dari Tiongkok dan juga pelaut dari Korea. Atas seluruh alasan di atas, mereka menjadi pemegang doktrin militer terbaik di era tersebut.
Baca juga: Ulasan lengkap mengenai organisasi militer Mongol
Tentara Kerajaan Inggris (abad ke-14 hingga abad ke-15)
Sementara pasukan Mongol memporak-porandakan dunia dari Asia Tengah, di medan Eropa, Kerajaan Inggris menunjukkan bahwa mereka memiliki doktrin militer terbaik di sana. Pada abad ke-14, komponen militer paling dominan di Eropa adalah para kesatria yang bertarung sebagai kavaleri kejut.
Seluruh kerajaan-kerajaan di Eropa memiliki pasukan inti berupa kesatria berkuda dalam jumlah kecil, pasukan bayaran profesional dalam jumlah kecil juga, dan pasukan levy (warga biasa yang dipanggil untuk berperang) dalam jumlah besar. Hal tersebut berarti mayoritas dari tentara merupakan warga yang tidak terlatih dalam keahlian-keahlian terkait pertarungan.
Meskipun terkesan kurang efisien, struktur militer tersebut terkait erat dengan sistem monarki di Eropa. Sebagai penguasa mutlak, raja-raja cenderung enggan untuk mempersenjatai warga mereka. Mereka khawatir akan potensi warga-warga bersenjata yang memberontak dan melawan mereka.
“Demikianlah kau Mesin tak lazim dari Tanah kami!
Senjata penakluk! Tuan di Lapangan!
Busur Ternama!”
(Samuel Daniel, penyair Inggris)
Kendati demikian, hal yang sepenuhnya berbeda dilakukan oleh Kerajaan Inggris. Setelah melihat efektivitas pemanah dalam jumlah besar pada pertempuran Crécy, Raja Edward III memerintahkan agar seluruh pria di Inggris berlatih seni memanah pada setiap hari raya (termasuk hari Minggu). Titah tersebut menjadikan Inggris sebagai pemegang doktrin militer terbaik di Eropa karena sekarang ia memiliki sejumlah besar anggota masyarakat yang terlatih dalam keahlian bertarung dan dapat dimanfaatkan sewaktu-waktu.
Secara bertahap, Inggris mengembangkan taktik bill and bow. Komposisi pemanah dalam tentara Inggris di masa ini dapat mencapai 75% hingga 90% dari keseluruhan bala tentara. Sementara itu, bill yang dimaksudkan dalam bow and bill adalah tentara infanteri berat (25% hingga 10% dari keseluruhan tentara) yang seringkali bersenjatakan bill hook. Intensitas tembakan anak panah yang diluncurkan oleh tentara Inggris seringkali begitu dahsyat dan bahkan dapat menumpulkan terjangan kesatria Eropa.
Keunggulan taktik bow and bill tersebut mulai berkurang dengan masuknya senjata mesiu yang dapat mengalahkan jarak tembak longbow Inggris. Hal tersebut dapat diilustrasikan dalam pertempuran Formigny pada 1450 ketika pasukan Perancis bersenjatakan dua meriam culverin menembak pemanah Inggris dari jauh dan memaksa mereka untuk melancarkan ofensif alih-alih mempertahankan posisi.
Meskipun pemanah Inggris masih memegang peran hingga abad-abad berikutnya, keberadaan mereka perlahan-lahan mulai digantikan oleh senjata mesiu.
Tentara Kekaisaran Jerman (1914-1918)
Sebelum tahun 1914, hampir seluruh pemerintah negeri-negeri berpengaruh mengetahui bahwa akan ada perang yang meletus. Pada 1912, Perancis memiliki Plan XVII yang mendikte bagaimana mereka akan menghadapi Jerman ketika terjadi perang. Belgia, juga mengantisipasi kedatangan perang, membangun benteng-benteng paling canggih di perbatasannya. Terikat pakta aliansi dengan Perancis, Rusia juga memiliki perencanaan militer bila deklarasi perang diturunkan. Perencanaan serupa mengenai operasi BEF (British Expeditionary Force) juga sudah disiapkan pemerintah Inggris.
Kendati seluruh persiapan dari negeri-negeri di atas, militer Kekaisaran Jerman menunjukkan bahwa mereka melakukan pendekatan terbaik dalam masalah ini, baik dalam perencanaan dan juga pelaksanaan. Rusia, meskipun memiliki rencana untuk revitalisasi militer, terbukti gagal. Anggaran militer negeri tersebut menjadi korban korupsi besar-besaran dan informasi militer mereka juga bocor ke negeri lainnya.
“Awalnya Perancis tidak memiliki artileri berat yang dapat diangkut, jadi cukup mustahil bagi mereka untuk melawan meriam berkaliber besar kami. Karena kondisi ini, para awak artileri Jerman, tentu saja, merasa bahwa mereka adalah yang terbaik.”
(Julius Koettgen, batalion sapper no.30)
Perancis di lain sisi, mengangkat doktrin offensive à outrance yang menekankan pada ofensif bersemangat. Satu-satunya hal yang penting dalam perang adalah élan dan cran dari tentara, secara kasar dapat diterjemahkan sebagai momentum dan nyali. Perancis akan kembali memikirkan doktrin ini ketika mereka bertemu dengan persiapan metodis Jerman dan parit-parit pertahanan yang diperkuat dengan senapan mesin serta artileri.
Sepanjang Perang Dunia Pertama (1914-1918), Kekaisaran Jerman menunjukkan obsesi mereka pada persiapan dan perencanaan yang matang. Walaupun terkadang, rencana terperinci mereka gagal seperti rencana Schlieffen. Kekaisaran Jerman menunjukkan bahwa persiapan dan perencanaan terperinci mereka merupakan doktrin militer terbaik di masa itu.
Dengan doktrin militer terbaik itu, Jerman berhasil bertahan di front Barat dari tekanan Inggris, Perancis, dan di akhir perang, Amerika Serikat. Di front Timur, Kekaisaran Jerman berhasil mengalahkan berbagai negeri, termasuk Rusia yang merupakan kekuatan dominan.
Negeri dalam daftar doktrin militer terbaik ini dipilih atas dasar performa militer mereka pada masa tersebut dan pengetahuan penulis yang terbatas. Masih ada kekuatan militer dengan performa mengagumkan dan berpotensi dinobatkan sebagai negeri dengan doktrin militer terbaik, namun karena penulis belum banyak mempelajari soal sejarah dan performa mereka, tidak dimasukkan ke dalam daftar ini.
Ulasan secara lebih mendalam dari masing-masing negeri dalam daftar ini akan dilakukan pada minggu-minggu selanjutnya.
Referensi:
- Subotai the Valiant: Genghis Khan’s Greatest General oleh Richard A. Gabriel
- A German Deserter’s War Experience oleh Julius Koettgen
- The Guns of August oleh Barbara W. Tuchman
- A Companion to the Roman Army oleh Paul Erdkamp
- How to Prepare for a Battle; The Quarterly Journal of Military History seri Autumn 2014 oleh James S. Corum
- ‘Thou peculiar engine’; Military History Monthly seri Januari 2014 oleh Tim Candlish
- ‘To teche the Frensshmen curtesye’; Military History Monthly seri Februari 2016 oleh Tobias Capwell
- Artikel The Nature of Military Doctrine: A Decade of Study in 1500 Words oleh Aaron P. Jackson