Bila Anda telah menonton Star Wars: The Force Awaken, mungkin Anda masih ingat dengan salah satu adegan pembuka film ini. Adegan yang saya bicarakan adalah ketika Finn si stormtrooper menjadi panik setelah melihat temannya gugur dan meninggalkan bekas darah di helmnya. Kepanikan tersebut terus berlanjut dan tampak ketika ia menolak untuk menembak penghuni planet Jakku yang sudah terkepung dan tidak bisa melawan.
Ketika saya melihat adegan tersebut untuk pertama kalinya, ada suatu kejanggalan yang terasa menonjol. Apakah semudah itu seorang tentara kehilangan nyalinya? Dalam film The Force Awaken, insiden kecil tersebut bahkan mengubah Finn menjadi seorang pembelot yang membahayakan dirinya dengan membebaskan tawanan First Order.
Perasaan janggal yang serupa juga saya rasakan ketika menonton film Fury yang dibintangi oleh Brad Pitt dan Shia LaBeouf. Kali ini perasaan janggal itu muncul ketika Norman yang seorang fresh recuit menolak untuk menembak tentara Jerman. Secara sekilas, hal ini tampak sejalan dengan premis umum seorang tentara lembek yang lama-lama berubah menjadi veteran keras seiring dengan waktu. Tetapi, rasa janggal saya masih bertahan. Sesulit apa memangnya menarik pelatuk senjata?
Tentunya argumen yang logis untuk mendukung adegan-adegan tersebut adalah sisi manusiawi dari para karakter tentara. Menghilangkan nyawa manusia lain secara disengaja merupakan hal buruk dan memiliki konsekuensi moral yang juga luar biasa besar. Tentu saja itu adalah pemikiran yang familiar dan relatable dengan kita sebagai penikmat kisah-kisah tersebut. Bagaimanapun juga, salah satu kunci dari cerita sukses adalah keberadaan karakter yang relatable.
Namun, apakah itu cara yang paling tepat dalam menggambarkan seorang karakter dengan archetype tentara? Kenyataannya, sosok tentara bukanlah karakter yang dapat dengan mudah kita kaitkan dengan diri kita sendiri. Berapa banyak profesi di dunia ini yang menempatkan seorang individu dalam daerah konflik dan kewajiban untuk menggunakan kekerasan terhadap orang lain?
Membandingkan isi kepala seorang tentara dan cerminan mereka dalam media populer
Dalam dua contoh di atas kita sudah melihat tentara yang kehilangan nyali setelah melihat kematian rekannya dan tentara yang begitu ketakutan hingga ia tidak dapat menembak musuhnya. Apakah ada bukti untuk perilaku seperti ini?
Argumen saya akan gambaran tentara yang takut membunuh adalah seorang tentara profesional (bukan militan atau sukarelawan dengan senjata) sepenuhnya dilatih untuk membunuh. Berikut pengakuan Robert Graves dalam riwayat dirinya yang berjudul Good-Bye to All That:
Pelatihan infanteri pada 1914 telah mencantumkan dengan sopan bahwa tujuan utama tentara adalah untuk melumpuhkan atau menghapuskan efektivitas angkatan bersenjata lawan. Dewan Perang menganggap pernyataan tersebut terlalu implisit. Alih-alih, tentara harus belajar bahwa mereka MEMBENCI bangsa Jerman dan harus MEMBUNUH sebanyak mungkin. Dalam latihan bayonet, para tentara harus menunjukkan ekspresi mengerikan dan meraung selagi menerjang. Wajah para instruktur secara permanen terkunci dalam senyum bersemangat. “Lukai dia, sekarang! Tikam perutnya! Cabik ususnya hingga keluar!” teriak mereka ketika para tentara menerjang boneka latihan.
Latihan para tentara tentunya dirancang untuk membiasakan mereka dengan realita dingin perang. Bagaimanapun juga, hal terakhir yang diinginkan para komandan adalah seorang tentara yang ketakutan dan tidak dapat melakukan apapun di medan perang. Di lain sisi, ketakutan adalah sebuah reaksi alami. Terkadang, latihan dan disiplin militer tidak dapat menutupi hal tersebut.
Ketakutan ketika bertugas terlihat jelas pada pengalaman pribadi Julius Koettgen. Sesuai dengan apa yang ia cantumkan di memoarnya, A German Deserter’s War Experience, inilah isi pikirannya ketika ia terjun di front Belgia pada Perang Dunia Pertama:
Siapa dapat menggambarkan perasaan yang menguasai seorang pria ketika ia berada di tengah hujan peluru untuk pertama kalinya? Ketika kami melompat untuk mencapai barisan penembak, aku sama sekali tidak merasakan ketakutan. Aku hanya ingin mencapai barisan secepat mungkin. Tapi, ketika aku melihat orang mati untuk pertama kalinya, aku merasa dikuasai oleh ketakutan yang luar biasa. Untuk sesaat aku sepenuhnya terkejut, kehilangan kendali diri dan tidak mampu berpikir ataupun bertindak. Aku menenggelamkan wajah dan tanganku sedalam mungkin ke bumi, dan tiba-tiba aku dikuasai oleh semangat yang luar biasa. Aku menggenggam senapanku dan mulai menembak secara membabi buta.
Di sini kita melihat ketakutan seorang tentara dan juga suatu fenomena unik dalam dunia tentara. Kita berbicara mengenai gairah, semangat, atau dalam beberapa situasi ekstrem kebahagiaan yang dialami mereka di tengah pertarungan. Ini adalah daerah yang jarang dijamah dalam media populer masa kini, tetapi masih menjadi kenyataan di masa manapun. Ini adalah sisi seorang tentara sebagai pembawa kehancuran.
Fenomena ini terlihat jelas dalam memoar Ernst Junger, Storm of Steel. Dalam operasi Michael, Junger menceritakan pemandangan mengagumkan yang ia saksikan ketika artileri Jerman memuntahkan lebih dari satu juta peluru ke kubu Entente. Pada pukul sembilan lewat sepuluh, ia dan pasukannya melompat keluar dari persembunyian untuk menggempur parit lawan. Inilah yang ia rasakan di momen-momen tersebut:
Hasrat menghancurkan yang menggantung di sepanjang medan perang telah menciptakan kabut merah di dalam otak kami. Kami saling berbicara dalam isakan pendek dan gagapan yang tidak lengkap. Seorang pengamat luar mungkin saja menyimpulkan bahwa kami semua merasa luar biasa senang.
Contoh yang sedikit lebih modern juga dituliskan oleh Karl Marlentes, seorang veteran perang Vietnam. Dalam memoarnya, What Is It Like To Go To War, Marlentes menyaksikan serangan Vietcong yang ditumpulkan oleh bom napalm dari pesawat-pesawat Amerika. Ini adalah pengakuannya ketika semua itu terjadi di depan matanya:
Di tengah intensitas asap, aku dapat melihat tubuh hangus NVA (North Vietnamese Army) yang mati atau masih sekarat. Beberapa merangkak kembali ke arah hutan belantara yang belum diledakkan selagi asap masih mengepul dari pakaian dan kulit mereka.
Perasaanku? Aku merasa gembira! Aku menyahut pada tim, “Ada Crispy Critters di sepanjang bukit!” Crispy Critters (binatang renyah) merupakan merk sereal yang populer pada waktu itu.
Wajah utuh seorang tentara
Beberapa kesaksian di atas seakan menciptakan archetype tentara yang dilatih untuk menghilangkan sisi kemanusiaan mereka dan menjadikan mereka pembunuh massal yang penuh hasrat. Dalam satu sisi, hal tersebut tidak jauh dari kenyataan. Ini adalah sisi tentara yang tidak dapat dikaitkan dengan pengalaman hidup sehari-hari manusia penghindar konflik.
Berbeda dengan karakter Finn dari Star Wars: The Force Awaken, seorang tentara nyata cenderung untuk melakukan berbagai tindakan yang tidak terpuji. Mereka amat mungkin melakukan penjarahan untuk melepaskan tekanan perang atau bahkan hanya karena kesempatan itu muncul. Mereka juga dapat mengeksekusi warga sipil ataupun membunuh tentara musuh yang terluka (melanggar hukum internasional) karena hal tersebut merupakan perintah yang harus dilaksanakan.
Hal tersebut dialami secara langsung oleh Julius Koettgen ketika ia diperintahkan oleh atasannya untuk mengeksekusi warga sipil yang diduga melakukan tindakan sabotase. Seusai ia dan lima orang rekannya menembak mati warga sipil tersebut, ia:
Aku berlari sepanjang hari seperti orang mabuk dan mencaci diriku sendiri karena telah berperan sebagai algojo. Untuk waktu yang lama, aku menghindari pembicaraan tentang hal ini dengan rekan-rekan pasukan yang lain karena aku merasa bersalah. Tapi, apa lagi yang dapat kita, tentara, lakukan selain mematuhi perintah?
Sisi kemanusiaan yang relatable dari para tentara memang seakan tidak tercermin dari tindakan mereka. Namun, sisi relatable tersebut muncul dalam tingkat yang lebih dalam. Ya, mereka mungkin dapat mengeksekusi warga sipil tanpa banyak masalah, tapi kemungkinan besar mereka tidak akan menyukai perintah tersebut. Entah berpasrah pada fakta bahwa mereka hanya dapat mengikuti perintah, menghayati perintah tersebut sebagai keputusan sulit yang harus diambil dan penting bagi keselamatan seluruh resimen, ataupun diam-diam menaruh dendam pada atasan mereka. Seluruh hal tersebut merupakan gejolak emosional yang sulit terlihat dari luar.
Bahkan, lelucon kelam yang sering diucapkan oleh para tentara bisa jadi perjuangan alami mereka untuk menghadapi brutalnya kehidupan dalam perang.
Bila kamu seorang tentara, kamu mungkin:
1. berada di rumah atau 2. berada di front depan
Bila 1, kamu tidak perlu cemas
Bila 2, kamu antara 1. di luar zona berbahaya atau 2. ada di dalamnya
Bila 1, kamu tidak perlu cemas
Bila 2, kamu antara 1. tidak tertembak atau 2. tertembak
Bila 1, kamu tidak perlu cemas
Bila 2, kamu antara 1. menderita luka ringan atau 2. luka fatal
Bila 1, kamu tidak perlu cemas
Bila 2, kamu antara 1. hidup atau 2. mati
Bila kamu hidup, kamu tidak perlu cemas: dan – bila kamu mati, KAMU TIDAK BISA CEMAS!!
Jadi kenapa cemas?
Picisan surat J. Staniforth (Somme, 1916) pada keluarganya
Akhir kata
Sesungguhnya, kita tidak dapat mengetahui orang seperti apa yang mendaftarkan diri untuk menjadi tentara. Bisa saja seorang Ernst Junger dengan jiwa patriotik dan mental “Demi Kaiser dan Fatherland”. Bisa saja seorang Fritz Haarmann, pembunuh berantai yang menganggap kehidupan militer merupakan saat paling bahagianya. Namun, di luar karakteristik pribadi orang-orang tersebut, disiplin militer dan tekanan perang dapat memberikan lapisan karakter yang baru. Lapisan karakter inilah yang memberikan tokoh tentara archetype otentik mereka.
Sudah menjadi tugas pencerita untuk menampilkan karakter yang, tidak hanya unik, tapi juga masuk akal (believable). Mengaplikasikan imajinasi untuk menciptakan suatu karakter memang penting, tapi karakter tersebut masih harus terikat dengan kenyataan. Di sinilah seorang pencerita harus mengerjakan pekerjaan rumahnya dan melakukan riset. Untuk dapat mengerti sudut pandang seorang tentara, ada banyak memoar yang bisa menjadi jendela ke dalam isi kepala para tentara.
Kombinasi dari riset dan imajinasi yang diterapkan dengan amat mengagumkan dapat dengan jelas terlihat dari Regeneration Trilogy. Karya tersebut memiliki latar Perang Dunia Pertama dan menggambarkan kisah para tentara secara fantastis. Apa yang mengagumkan? Penulisnya, Pat Barker dapat menggambarkan secara jelas dua pengalaman yang tidak pernah ia jalani, berada di dalam perang dan menjadi seorang pria. Pat membuktikan bahwa ia dapat menciptakan karakter yang believable dan relatable tanpa menyederhanakan kompleksitas mental seorang tentara.
apa yang terjadi jika ada tentara yang takut menembak? apakah dia akan cepat gugur atau bahkan akan cepat di pecat dari anggota tentara??
LikeLike
Di era modern ini, dia dapat dinyatakan gagal melaksanakan perintah dan harus mengikuti pengadilan militer. Bila ditemukan bersalah, ia akan dijatuhi hukuman sesuai dengan hasil persidangan.
Pada memoar A German Deserter’s War Experience, Julius Koettgen menceritakan bahwa tentara Jerman yang lalai dihukum dengan cara diikat ke tiang dalam jangka waktu tertentu.
Saya merasa kasus tentara yang takut menembak itu jarang terjadi. Seperti yang sudah dikatakan di atas, tentara biasanya menjalani pelatihan keras yang membuat mereka cukup efektif dalam kondisi pertarungan. Namun, terdapat kasus dimana seorang tentara memiliki sikap anti-perang atau tidak setuju akan tujuan perang. Pada akhir Perang Vietnam, ada sejumlah tentara Amerika yang memiliki sikap seperti itu. Beberapa dari mereka melakukan aksi fragging, usaha membunuh perwira mereka dengan cara melemparkan granat ke tenda perwira ketika mereka tengah tidur. Tentu saja, pelaku aksi ini ditangkap dan diseret ke pengadilan militer.
LikeLike